Penanganan kasus dugaan penganiayaan oknum Kepala Sekolah SMP Negeri 1 di Kecamatan Raman Utara, Lampung Timur terhadap muridnya hingga mengalami gangguan pendengaran seperti jalan di tempat. Polisi menyebut sudah ada upaya perdamaian antara terlapor dan pelapor.
Kasatreskrim Polres Lampung Timur, Iptu Maulana R Alhaqiqi mengatakan bahwa kasus dugaan penganiayaan tersebut belum naik ke tahap penyidikan.
“Kasusnya masih tahap penyelidikan, belum naik sidik, karena ada upaya perdamaian antara terlapor dengan pihak pelapor atau korban,” kata Iptu Maulana
Dia menyampaikan, belum melakukan gelar perkara terhadap kasus dugaan penganiayaan itu karena menghargai upaya perdamaian terlapor maupun pelapor.
“Iya belum kita gelar (perkara), kita juga menghormati dari pihak terlapor dan pelapor katanya masih menempuh jalan damai,” jelas dia.
Ditanya soal pengajuan surat damai antara pelapor dan terlapor ke pihak kepolisian, dia menyampaikan masih dalam bentuk komunikasi dari pihak kuasa hukumnya masing-masing.
“Iya masih pembicaraan aja,” ucapnya.
Dia menerangkan, sudah mendapatkan hasil visum korban yang diduga ditampar sebanyak delapan kali oleh terduga pelaku berinsial EP. Meski dari hasil visum menunjukkan tidak ada luka fisik yang dialami, namun korban mengalami trauma pasca dianiaya terlapor.
“Dari hasil visum tidak ada luka. Namun kita sudah melakukan pemeriksaan ahli psikologi terhadap keadaan korban, hasilnya menunjukkan korban mengalami traumatik,” ungkapnya.
Sementara itu, Dikki Kurnia Azis, Kuasa Hukum korban membenarkan adanya upaya damai. Namun upaya perdamaian itu tidak sportif, karena dilakukan di rumah mertua terlapor.
“Kami membenarkan adanya upaya damai, namun sifatnya itu tidak sportif karena pembuatan perdamaian itu terjadi ketika ibu korban sedang bekerja di rumah mertua terlapor, lokus dan tempusnya tidak tepat , seharusnya perdamaian itu dilakukan di rumah korban,” ujar Dikki.
Dia menilai, pihak terlapor menganggap remeh permasalahan tersebut.
“Ibunya korban kan di situ bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), tapi tiba-tiba malah disuruh tanda tangan surat pernyataan perdamaian yang telah dibuat langsung oleh pihak terlapor. Itu kan kurang etis,” jelasnya.
Meski surat perdamaian itu lebih dulu dibacakan oleh pihak terlapor sebelum disetujui ibu korban, menurut Dikki, perdamaian terjadi tidak sesuai keinginan pelapor.
“Di situ sudah banyak orang, pengakuan ibu korban ini sudah mau kabur dari sana, tapi kan tidak sopan karena ibu korban sedang bekerja di sana (rumah mertua terlapor). Korban ini merasa terdesak, terintimidasi dan tertekan sehingga menandatangani surat perdamaian itu,” ungkapnya.
“Saat itu, saya belum bisa mendampingi ibu korban karena sedang mengikuti persidangan, saya sudah bilang ke pihak terlapor, tapi ibu korban di sana tetap diminta untuk tanda tangan dengan tidak didampingi saya,” jelas dia menambahkan.
Oleh sebab itu, ia dan kliennya membuat pernyataan pembatalan perdamaian yang juga sudah dikirimkan ke Mapolres Lampung Timur.
“Saya selaku Kuasa Hukum korban merasa keberatan, dan juga membuat surat pernyataan pembatalan perdamaian, itu sudah kami beritahukan ke Kanit PPA Mapolres Lampung Timur,” ungkapnya.
Sebelumnya, polisi telah melakukan pemeriksaan terhadap terlapor di Mapolres Lampung Timur, pada Jumat (21/6/2024) lalu.
Pihak kepolisian pun sudah memeriksa tiga saksi dalam kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum Kepala SMP. Saksi itu adalah ibu korban, korban dan saksi yang mengetahui peristiwa tersebut.
Kasus dugaan penganiayaan yang terjadi di lingkungan sekolah ini menuai sorotan dari berbagai kalangan. Sekertaris Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas sangat menyayangkan peristiwa tersebut terjadi di lingkungan pendidikan, bahkan malah dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah.
“Terkait dengan kasus yang menghebohkan terhadap salah satu siswa SMP di Lampung Timur yang ditampar oleh kepala sekolah, saya sangat prihatin, ini merupakan tindakan yang sangat tidak patut dilakukan oleh seorang Kepala Sekolah,” kata Mikdar kepada Liputan6.com, Sabtu (15/6/2024).
Dia menyampaikan, meskipun persoalan tersebut ranahnya ada pada dinas pendidikan kabupaten dan dewan kabupaten setempat. Namun, karena ini berkaitan dengan masalah pendidikan, ia tak bisa tinggal diam dan harus memberikan atensi terhadap kasus tersebut.
“Saya sebagai Sekretaris Komisi V, saya melihat cara begini sangat tidak tepat, kalaupun memang siswa ini ada kesalahan atau kekeliruan seharusnya diberikan teguran secara lisan atau tertulis. Bukan malah melakukan tindakan kekerasan fisik yang dilakukan,” ungkapnya.
Sumber : Liputan6.com